BOGOR, Kobra Post.
Salah satu situs tinggalan masa Prasejarah
di Kota Bogor adalah Situs Batu Congkrang. Terletak di pertemuan Jalan
Batutulis-Gang Balekambang. Nama congkrang konon telah lama dikenal masyarakat
karena bentuk batunya yang melengkung.
Saleh Danasasmita almarhum yang dikenal
sebagai sejarawan yang ahli tentang Bogor itu di dalam bukunya, Sejarah
Bogor yang legendaris itu, menerangkan bahwa : "Batu Congkrang"
merupakan saksi kepurbakalaan, yang sejak ratusan tahun sebelum Masehi di
kawasan tersebut sudah ada pemukiman manusia. Batu tersebut juga telah
tertancap pada tempatnya hingga saat ini setidak-tidaknya 2000 tahun yang
silam.
Keberadaan dan nilai penting yang
terkandung di dalam Situs Batu Congkrang terkait dengan kelahiran
dan perkembangan Sejarah Bogor tidak bisa berdiri sendiri. Namun tidak
terpisahkan dengan banyak dan beragamnya dengan situs-situs lain di
kawasan sekitarnya. Hal ini juga diperkuat oleh penelitian Kang Saleh tentang
lokasi Kerajaan Pakuan Pajajaran. Begitu pula dengan penelitian dan penulisan
mengenai lokasi Pakuan oleh C. M. Pleyte yang lebih meluas sampai mencakup
seluruh kawasan Kelurahan Batutulis saat ini.
Batu Congkrang merupakan salah satu
tinggalan atau artefak budaya pada masa Prasejarah. Batu sejenis itu di dalam
lingkup arkeologi dikenal sebagai batu tegak atau menhir. Menhir tidak hanya
dijumpai di Bogor, juga beberapa wilayah di Indonesia. Dapatlah dikatakan lebih
khusus bahwa Kebudayaan Sunda sebagai satu identitas masyarakat yang tinggal di
bagian barat Pulau Jawa telah mengenal sistim religi dalam mekanisme
kebudayaanya.
Peninggalan arkeologi dari masa Prasejarah
tersebut antara lain menhir, yang lainnya adalah punden berundak, batu dakon,
dolmen, sarcofag atau batu kubur, dan juga arca-arca polynesia di beberapa
wilayah Jawa Barat, membuktikan bahwa masyarakat Sunda kuna telah mengenal dan
melakukan upacara-upacara ritual dalam keberagamannya.
Perlu dikemukakan bahwa di negeri kita
sampai kini masih terdapat kebudayaan megalithikum yang masih hidup, yang masih
menjadi kebudayaan sekarang, seperti di Pulau Nias, Sumba dan Flores. Hal ini
tentu saja sangat banyak memberi petunjuk kepada kita untuk menyelami
megalithikum prasejarah, tidak hanya mengenai hasil-hasil kebudayaanya
melainkan juga alam fikiran yang tersimpan di belakangnya dan menjadi
pendorongnya.
Tinggalan-tinggalan masa megalithikum dalam
bentuk batu tegak atau menhir rupanya seperti tiang atau tugu, yang didirikan
sebagai tanda peringatan dan melambangkan arwah nenek moyang, sehingga menjadi
benda yang memiliki nilai sejarah. Sikap dan perlakuan kita terhadap benda atau
wujud batu semacam itu bukan berarti kita memperlakukan sebagai benda yang
keramat atau dijeramatkan. Namun kita titik beratkan kepada benda-benda yang
dibuat oleh leluhur kita sebagai simbol penghormatan kepada kebesaran Sang Maha
Pencipta. Demikiankah, dengan latar belakang kepercayaan akan kehidupan di
akhirat dan alam fikiran yang berdasarkan pemujaan nenek moyang, terjelmakanlah
berbagai macam bangunan yang kita sebut sebagai hasil-hasil kebudayaan
Megalithikum.
Adapun tentang Situs Batu Congkrang di Kota
Bogor, selain memiliki nama yang unik yaitu "congkrang", tentu di
balik itu ada nilai-nilai budaya atau kesejarahan terkait dengan perkembangan
Bogor. Untuk menguak lebih jelas fungsi dan kedudukan situs tersebut perlu kita
kaji dari aspek toponimi, topografi, arkeologi dan morfologinya sebagai bagian
dari sebuah kawasan Pakuan Pajajaran.
Seperti telah disinggung oleh Saleh
Danasasmita, keberadaan Batu Congkrang adalah saksi kepurbakalaan bahwa
di kawasan itu telah ada permukiman. Pemilihan suatu lokasi menjadi permukiman
didasarkan pada faktor-faktor yang menguntungkan, misalnya bentuk lahan dan
lingkungan. Faktor-faktor yang menguntungkan tersebut adalah topografi yang
rata, keadaan lahan yang subur, mudah memperoleh air permukaan atau air tanah,
mudah berkomunikasi dengan luar, serta terhindar dari serangan musuh. Selain
itu, faktor lain yang menentukan pemilihan lokasi permukiman juga didasarkan
pada faktor ekonomi dan faktor politis.
Sayang sekali sejumlah besar menhir-menhir
yang banyak bertebaran di lokasi berdirinya pusat kawasan Pakuan Pajajaran
telah sirna digerus oleh pembangunan dan perkembangan Kota Bogor. Menhir-menhir
tersebut habis dipukul martil menjadi batu-batu yang digunakan untuk bahan
pembuatan jalan dan bangunan. Nasib hilangnya batu-batu bernilai sejarah dan
arkeologis tersebut menimpa Situs Arca Domas di Desa Cikopo Selatan, Kecamatan
Megamendung, Kabupaten Bogor. Situs yang antara lain di dalamnya tersimpan
arca-arca tipe Pajajaran itu, juga habis dimartil, pecahan batu-batu bernilai
sejarah itu ikut terbenam di dalam fisik jalan lingkungan.
Situs Purwakalih bernasib agak baik, hanya
bergeser hampir dua meteran dari lokasi semula. Pergeseran situs tersebut
sebagai dampak dari pelebaran Jalan Lawang Gintung pada tahun 1991, saat
Walikotamadya dijabat oleh Suratman (1989-1994).
Berdasarkan pengamatan pada beberapa
situs-situs masa prasejarah, khususnya yang termasuk ke dalam tradisi
megalithikum, misalnya Situs Purwakalih, Batu Dakon dan Punden Berundak.
Memberi kesan kurangya perhatian dan
tidak terpelihara dengan baik terhadap situs-situs tersebut. Selain itu
tampaknya tidak ada upaya yang serius agar situs-situs tinggalan prasejarah itu
lebih menarik dan menjadi daya tarik masyarakat sekitar khususnya dan warga
Kota Bogor pada umumnya. Mungkin akan lebih baik dan lebih menarik jika
keberadaan situs lebih terbuka dan lahan di sekitarnya ditata dengan
sebaik-baiknya.
Di samping itu mungkin bisa menjadi bahan
pertimbangan untuk daya tarik jika situs-situs tinggalan masa prasejarah,
apabila dilengkapi dengan wacana atau keterangan tentang sejarah situs-situs
bersangkutan. Situs-situs dalam bentuk arca, batu-batu tegak dan punden
berundak-undak akan memberi kesan adanya sikap dan perlakuan yang
sifatnya mistis, tidak rasional dan dipandang sebagai bentuk pemujaan kepada
wujud batu bersangkutan.
Upaya tersebut setidak-tidaknya akan
memberi keterangan penting mengenai sejarah perkembangan kota dan leluhur
penghuni kota itu sendiri. Dalam hal ini sejarah dan leluhur yang pernah
menghuni Kota Bogor.
Penulis : Rachmat Iskandar
(Penggiat Benda Cagar Budaya)
0 Comments